Sabtu, 03 April 2010

karena kalian begitu berharga



Aku(Rofiqoh) tidak mengatakan ia(Pram) adalah tipikal suami sempurna seperti yang aku idam-idamkan. karena kesempurnaan itu amat relatif. ideal tidak harus sempurna. mendapatkan pasangan hidup yng ideal sudah merupakan anugerah, terutama di zaman seperti ini. sedikit orang yang punya kesempatan demikian. kenapa aku katakan ia suami ideal bagiku?
karena, meski kami memiliki cukup banyak perbedaan dalam hal-hal prinsipil, namun kami memiliki kesamaan yang ajaib. kami sama-sama ingin belajar menata diri. kami berusaha agar segala perbedaan itu bisa terkikis, hingga akhirnya menyatu dalam keserasian. aku tak sedikit pun mengorbankan prinsip-prinsip agama apalagi akidah yang aku yakini. tapi, saat aku menuntut ia untuk bisa menyempurnakan sisi-sisi pemahaman agamanya, sisi komitmennya terhadap agama, ia juga menuntutku menjadi istri yang patuh, yang mau senantiasa membantu suami. Dan itu tidak mudah. aku perlu banyak belajar. kami sering berbenturan pada sisi interpretasi pada kepatuhan itu. aku membatasinya pada hal-hal yang kuangggap tak melanggar aturan Allah. Dan ia sering tidak bisa menerimanya. Tapi aku sadar, ia tidak menerima bukan berarti ia kejam. namun hanya karena ia belum bisa memahaminya. makanya, aku selalu menghibur diri dengan hadits Nabi -Shalallahu 'alyhi wasallam-"janganlah seorang suami yang beriman, membenci istrinya yang beriman. karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabiatnya, pasti ada tabiat lain yang membuatnya merasa senang" (HR.Muslim II:1091)
sebagaimana suamiku belajar memahamiku, aku pun belajar memahaminya. bagiku, usaha untuk saling memahami adalah kunci utama menuju perbaikan diri. Tanpa itu, keserasian pun nyaris tak berarti apa-apa.
Aku melihatnya sebagai pria yang baik. Ia memiliki karakter yang baik. Lalu ia menyukai wanita yang berjilbab lebar. tidak bersikap apatis. Dalam hati kecilku tersimpan sebuah keyakinan, bahwa ia bisa berubah lebih baik. Bagiku, untuk apa menyimpan timah bersepuh emas? Lebih baik aku memiliki emas yang berselubung lumpur hitam yang pekat sekalipun. Karena aku masih bisa berharap lumpur itu akan terbuang, dan kemuning emasnya akan berkilau suatu hari(dikutip dari Kemuning Senja di Beranda Mekah, penerbit Shofa Media)
sepenggal kisah nyata perjalanan seorang bani adam dalam menjalani biduk rumah tangga. Tiada yang sempurna, kecuali Allah azza wa jalla. butuh kesabaran ekstra manakala pasangan kita "berbeda" sudut pandang.
Tidak disangsikan pula bahwa terdapat sosok yang begitu lembut namun kuat, anggun namun kokoh, yaitu sosok istri sholehah...
Ribuan tahun yang lalu terdapat kisah dimana seorang wanita dengan kemuliaannya menaklukan seorang prajurit kafir kemudian menjadi prajurit yang bersedia menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Rasulullah -shalallahu 'alayhi wasallam-, lalu kebijakan seorang istri yang membantu permasalahan sang suami yang juga pembawa risalah -shalallahu 'alayhi wasallam- tatkala para shahabat tidak segera menuruti perintahnya, dan kekuatan seorang wanita yang merelakan dirinya dan anak-anaknya masuk kedalam panci berisi minyak mendidih demi kalimat Tauhid.
Demikianlah wanita-wanita sholehah -semoga Allah merohmati mereka semuanya- yang terangkum dalam catatan sejarah, kisahnya telah berlalu, namun nama mereka harum sepanjang zaman, mereka lah kado terindah untuk seorang suami dan warisan terbanyak untuk orang tua, dan kebahagiaan terbesar untuk seorang anak ^^
Dunia seumpama perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah
nb:pencantuman nama Rofiqoh dan Pram semata-mata untuk mempertegas, itu bukan nama sebenarnya. mohon maaf kalo ada yang salah, silahkan dikoreksi dengan BAIK-BAIK

dua kekuatan besar


Rizqon seperti tumbuh menjadi remaja shalih, di lingkungan orang-orang yang (kebanyakan) jauh dari keshalihan. Ia mengenal masjid, saat remaja yang lain justru lebih akrab dengan bioskop, mall atau malah diskotik dan night club. Ia sudah akrab membuka lembaran-lembaran buku berbahasa Arab, membaca tafsir dan mempelajari bacaan al-qur’an secara tartil, saat anak-anak muda seusianya sibuk membaca komik-komik, cerpen dan novel percintaan ala shakespeare, atau mendengar lagu-lagu pop terbaru yang disenandungkan oleh para biduan dan biduanita bersuara emas. Ia menjadi sosok remaja yang langka, yang dalam bahasa hadits disebut gharib, asing. Namun keterasingannya itulah yang membuatnya menjadi unik. (dikutip dari “Sandiwara Langit” karya Abu Umar Basyir, penerbit Shofa Media Publika)
Penggalan deskripsi seorang ustadz mengenai mad’unya(muridnya), penggalan kisah nyata kehidupan seorang anak muda yang “melawan arus” kebiasan anak muda yang glamor, dan hura-hura diganti dengan sesuatu yang dapat mengantarkannya kepada “gerbang” cinta sang Kholiq
Pemuda dikenal karena ilmu dan ketakwaannya, begitulah Imam Syafi’I menggambarkan mengenai sosok pemuda. Berilmu dan bertakwa.
Ilmu ibarat sebuah cahaya, yang dengannya seseorang dapat mengenali apapun yang dilihatnya, didengarnya, dirasanya, ilmu layaknya lampu penerang yang menerangi jalan, memberikan arahan bagaimana ia menghindari lubang jalanan. Bayangkan bagaimana bila berjalan ditengah kegelapan?!
Dengarlah bagaimana Allah memuji orang yang berilmu
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” QS : Al Mujadilah :11
Layaknya seorang pegawai yang mendamba untuk naik pangkat, lantas bagaimana bila diangkat derajatnya oleh Sang Penggenggam setiap hati?! Tentu lebih layak untuk mendambakannya.
Manusia yang “seharusnya”(karena kebanyakan tidak semestinya) lebih kita cintai setelah mencintai Allah, yaitu Muhammad bin Abdullah –Shalallahu ‘alayhi wa sallam- bersabda
“Barangsiapa yang Allah kehendaki atasnya kebaikan niscaya Allah akan beri ia pemahaman dalam agama” Muttafaq ‘alaih
“Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” HR. At Turmudzi, dishahihkan oleh Syaikh Albani
Tidak ada kekayaan yang lebih berharga bagi kita selain ilmu dan tidak ada kedudukan yang lebih mulia bagi kita selain menjadi penuntut ilmu (Ustadz Abu Ihsan Al Atsari dalam Surat terbuka untuk para suami, Pustaka Darul Ilmi).
“Dunia itu terlaknat, dan terlaknat apa yang ada di dalamnya kecuali dzikrullah, amal ketaatan kepada Allah dan seorang ‘alim atau penuntut ilmu” HR At Turmudzi, dishahihkan oleh Syaikh Albani.
Lantas bagaimana dengan takwa?! Bukankah sebaik-baik pakaian adalah takwa?! Bukankah seseorang bukanlah dilihat bagaimana rupanya, seberapa banyak hartanya, tetapi bagaimana takwanya kepada Yang Maha Penyayang?!
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia(Allah) akan memberikan jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” QS. Ath Tholaq : 2-3
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” QS. Ath Tholaq : 4

Bayangkan bila Allah menghendaki seseorang memiliki keduanya(Ilmu dan Takwa). Adalah kebahagiaan yang akan menghampiri, manakala dalam bertutur, bertindak berada dalam landasan ilmu, dan ketika memiliki masalah atau urusan bertakwa hanya kepada Allah.
Allahu a’lam

Penulis sadari bahwa diri penulis masih jauh dari keduanya, namun perubahan harus diupayakan, meski dengan perlahan, meski dengan tertatih, meski berjuta cibiran menghampiri, hayu ah(logat sunda ^^v) kita berjalan bersama, beriringan untuk jadi pemuda yang kaya akan ilmu dan takwa.
semoga Allah jadikan ini semua amal yang menjadi tiket menuju surga.
Mohon maaf bila ada salah-salah kata, silahkan koreksi dengan hikmah and via messages. ^^
Al faqir ila Allah
-ndi-
di tempat mencari cinta dan ilmu

Rabu, 31 Maret 2010

tentang aku

ini bukan tentang mereka, ini adalah tentang aku. sadari diri, bahwa semakin hari usiaku berkurang, tubuhku perlahan berubah. aku sadari telah banyak melalui banyak cerita. salah satunya adalah tentang cinta.
yup, tentang cintaku pada seseorang. aku hanya manusia biasa, aku pun memiliki rasa itu. rasa cinta kepada lawan jenis, kepada perempuan yang bukan keluargaku.
aku mengenalnya memang lama, cukup lama bahkan. melalui dia aku tau bahwa ada cinta lain yang harus kuperjuangkan, cinta Tuhan semesta alam.
aku mengenalnya dalam balutan kelemahan, dan ketidakberdayaan. masa itu terangkum jelas di halaman sma pasundan 2 bandung.
aku hanya ingin berbagi tentang cinta yang membuatku lebih berarti, cinta yang mengajakku kepada cinta yang lain, cinta kepada Allah.
andai ia tau, aku masih mencintainya.
-31 maret 2010, masih berharap-


Seorang gadis kecil bertanya kepada ayahnya,

"Abi, ceritakan padaku tentang wanita sejati"...

Sang ayah pun menoleh kemudian tersenyum.......

Anakku,

Seorang wanita sejati BUKANlah dilihat dari kecantikan PARAS wajahnya, MELAINKAN dari kecantikan HATI yang ada di baliknya.....

Wanita sejati BUKAN dilihat dari BENTUK TUBUHNYA yang mempesona, MELAINKAN dilihat dari sejauh mana ia MENUTUPI BENTUK TUBUHNYA.....

Wanita sejati BUKAN dilihat dari begitu BANYAKNYA kebaikan yang ia berikan, MELAINKAN dari KEIKHLASANNYA memberikan kebaikan itu......

Wanita sejati BUKAN dilihat dari seberapa INDAH LANTUNAN SUARANYA, MELAINKAN dari apa yang SERING MULUTNYA BICARAKAN....

Wanita sejati BUKAN dilihat dari keahliannya BERBAHASA, MELAINKAN dari bagaimana CARA ia BERBICARA...

Sang ayah diam sejenak sembari melihat ke arah putrinya.
"Lantas apa lagi Abi?" sahut putrinya......

Ketahuilah putriku...

Wanita sejati BUKAN dilihat dari KEBERANIANNYA dalam BERPAKAIAN, MELAINKAN sejauh mana ia berani MEMPERTAHANKAN KEHORMATANNYA.......

Wanita sejati BUKAN dilihat dari KEKHAWATIRANNYA DIGODA orang di jalan, MELAINKAN KEKHAWATIRAN DIRINYAlah yang MENGUNDANG ORANG JADI TERGODA.....

Wanita sejati BUKANlah dilihat dari seberapa BANYAK dan BESARNYA UJIAN yang ia jalani, MELAINKAN sejauh mana ia MENGHADAPI UJIAN itu dengan penuh rasa SYUKUR.....

dan ingatlah...
Wanita sejati BUKAN dilihat dari SIFAT SUPELNYA DALAM BERGAUL, MELAINKAN sejauh mana ia bisa MENJAGA KEHORMATANNYA DALAM BERGAUL......


Setelah itu sang anak kembali bertanya,
"Siapakah yang dapat menjadi kriteria seperti itu Abi?"..........
Sang ayah memberikannya sebuah buku dan berkata, "TELADANILAH MEREKA!"


Sang anak pun mengambil buku itu dan melihat sebuah tulisan "ISTERI-ISTERI RASULULLAH"

----

Sungguh, sebaik2 teladan bagi para muslimah adalah istri2 Rosululloh..
Smg qt termasuk orang2 yg mau & mampu meneladani mereka.. AAMIIN..
(sumber dari messages di facebook)

Selasa, 22 Desember 2009

Ketika cinta itu hadir


Mmh bicara yang namanya cinta emang ga ada abisnya, coba deh kita liat berapa banyak buku tentang cinta, berapa banyak para pujangga ngomongin yang namanya cinta? Udah banyak banget sampe-sampe kita bingung..tapi tenang ajah, seorang ulama yang mu’tabar and boleh dibilang pakar cinta, beliau adalah Ibnul Qayyim –rahimahullah-, dalam kitabnya Ad Da’wad Dawa’ menyebutkan empat macam cinta. Masing-masing cinta tersebut harus dibedakan. Banyak orang sesat karena tidak bisa membedakan macam-macam cinta tersebut.

Ibnul Qayyim –rahimahullah- menyebutkan bahwa

pertama adalah cinta kepada Allah, cinta kepada Allah tidak cukup hanya dengan pengakuan saja. Pengakuan semata tidak cukup untuk dapat menyelamatkan seseorang dari adzab Allah dan tidak bisa menyebabkan keberuntungan dengan mendapatkan pahala. Karena orang-orang musyrikin, penyembah salib, orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir lainnya mengaku cinta kepada Allah. Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid member komentar :ucapan-ucapan Imam Ibnul Qayyim ini adalah bantahan yang sangat kuat sekali kepada musuh-musuh manhaj Salaf yang mereka itu tidak bisa membedakan antara yang buruk dan yang baik. Sehingga mereka menyangka dan member sangkaan kepada orang bahwasanya kaidah mahabbah atau ikhlas cukup sebagai syarat diterimanya suatu amalan, yang penting ikhlas, cinta karena Allah. Mereka lalai atau pura-pura lalai tentang kaidah ittiba’ yaitu mengikuti teladan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa salam-

kedua adalah Cinta kepada sesuatu yang dicintai oleh Allah, yang dicintai oleh Allah bisa berupa perbuatan(bentuk amal) atau seseorang. Diantara bukti cinta kita kepada Allah adalah harus cinta kepada orang-orang yang dicintai ooleh Allah. Siapa di antaranya orang-orang yang dicintai Allah? Mereka adalah para shahabat –ridhwanullah’alaihim ajmain- maka seorang yang benar-benar cinta kepada Allah harus cinta kepada shahabat. Allah berfirman : “Orang-orang yang terdahulu dari kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka denga kebaikan Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surge-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya mereka kekal didalamnya selama-lamanya yang demikian itu kemenangan yang besar (At-Taubah : 100). Dari sini jelaslah batilnya keyakinan kaum syi’ah yang menganggap banyak dari shahabat yang telah murtad atau bathilnya mereka yang telah mencaci sebagian shahabat –ridhwanullah ‘alaihim ‘ajmain- selanjutnya adalah cinta kepada orang-orang yang mengikuti jejak para shahabat. Hendaklah kita cinta kepada orang-orang yang mengikuti jejak Rasulullah-shalallahu ‘alaihi wa salam- dan orang-orang yang mengikuti jejak para shahabat. Jadi, cinta kepada apa-apa yang dicintai oleh Allah meliputi cinta kepada siapa saja dan kepada perbuatan apa saja yang dicintai oleh Allah. Hendaknya kita cinta kepada perbuatan baik dan benci kepada perbuatan tidak baik. Hendakklah kita berdo’a “Ya Allah berilah kepada kami kecintaan akan keimanan dan hiasilah keimanan itu di hati-hati kami dan berilah kami kebencian kepada kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.”

Ketiga adalah Cinta kepada Allah dan di jalan Allah, cinta kepada seeorang karena Allah dan di jalan Allah adalah termasuk konsekuensi dari cinta kepada apa-apa yang dicintai oleh Allah tadi. Cintanya hanya karena Allah bukan karena manusia. Termasuk cinta seorang istri kepada suaminya. Bagi seorang suami, cintanya kepada istri harus diniatkan karena Allah dan harus lebih mengutamakan cinta kepada Allah. Karena bukti bahwa cinta kita kepada seseorang itu karena Allah adalah lebih mengutamakan cintanya kepada Allah daripada orang yang kita cintai.

Terkadang seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami. Menghalangi atau melalaikan suami dari ingat kepada Allah atau membuat suami melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, seperti korupsi atau mencuri. Ini bukanlah istri yang sholihah. Trus gimana sih istri yang sholihah itu??hmm, hadits ini bikin perempuan semangat jadi makin cantik dengan keshalihan “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri yang shalihah” (HR. Muslim)

Yang keempat ini bikin ngeri and harus kita jauhin, bener-bener jauh pokonya jangan deket-deket! Yaitu Cinta bersama Allah, yaitu menyekutukan Allah dalam cinta. Allah berfirman : “Dan diantara manusia ada yang orang0orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Al Baqarah : 165). Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam sebuah bukunya Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid mengatakan : sebagian orang berani bersumpah dengan nama Allah walaupun isi sumpahnya adalah dusta dan hal itu lebih ringan dosanya daripada bersumpah dengan menyebutkan selain Allah walaupun isi sumpahnya benar, na’udzubillah. Missal mengatakan, “Demi Rasul,” ini merupakan pengagungan kepada makhluk, bersumpah kepada selain Allah ini merupakan perbuatan syirik. Tuh kan serem, coba deh kita inget-inget, pernah ga kita bersumpah dengan menyebut selain Allah?wah kalo ada kita harus buru-buru tobat selagi masih dikasih kesempatan.

Nah, sekarang kita udah tau kan apa itu cinta, cinta itu sebuah washilah yang bakal nganterin kita ke surga or ke neraka-Nya, moga ajah kita dikumpulkan di taman-taman surga,aamiin.

Ah, ga akan abis deh kalo kita ngomongin yang namanya cinta, betul ga? Tapi secara garis besarnya cinta itu :

· Kecenderungan seluruh hati yang terus menerus

· Kesediaan hati menerima segala keinginan orang yang dicintainya

· Kecenderungan sepenuh hati untuk lebih mengutamakan orang yang dicintai daripada diri sendiri dan harta sendiri, seia sekata dengannya, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, kemudian merasa bahwa cintanya itu masih kurang.

· Pengembaraan hati, karena mencari yang dicintai, sementara lisan senantiasa menyebut-nyebut namanya.

· Menyibukkan diri untuk mengenang yang dicintainya dan menghinakan diri kepadanya.

Hayo, yang mana yang kamu rasain or alamin? Kalo semuanya brarti kamu bener-bener jatuh cinta, tapi yang jadi pertanyaan, siapa yang kamu cinta? Gimana nunjukin cintanya? Oke deh, gini.. seringkali cinta naluriah kepada lawan jenis menggiring seseorang kepada jalan yang diharamkan oleh Allah. Cinta tersebut benar-benar mencengkram hati sehingga seseorang sulit untuk berkelit dan lepas dari jeratannya. Kalo kondisi ini dibiarin pasti bakal berujung kesengsaraan buat yang lagi jatuh cinta. Nah biar ga sengsara di kemudian hari mending dicegah kan? Mencegah lebih baik daripada mengobati, betul gak? Tapi apa sih yang bisa dilakuin supaya bisa nyegah kesengsaraan yang bisa menyempitkan hati?? Gini lho, berdasar sumber ada beberapa cara yang bisa kita lakuin,oke. Tapi sebelumnya kencengin dulu sabuk pengamannya coz kita bakal jalan-jalan lebih jauh lagi and lebih menantang dari sebelumnya.siap? lets go!

Yang bisa mencegah dari kesengsaraan yang pertama itu adalah :

1. Menikah,

Ini bila memungkinkan dilakukan daris egi ilmu, usia dan kemampuan. Sesuai dengan a juran Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- “Aku tidak melihat sesuatu yang lebih baik bagi dua orang yang saling mencintai seperti menikah” (HR. Ibnu Majah)

2. Menghentikan segalanya sebelum terjadi bencana,

Ini tentu sesuai dengan firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati zina” (Al Isra 32). Asmara memiliki beberapa factor yang sangat berkaitan. Oleh karena itu, seseorang harus memupus bisikan hati, pikiran, mimpi kosong, angan-angan selangit demi menutup celah bagi keburukan yang besar. Caranya adalah dengan menyibukkan diri dengan pikiran yang tinggi, harapan yang besar dan aktifitas yang agung. Seandainya seorang peminum khamr mendengar sesuatu tentang khamr maka godaannya tidak terlalu besar. Namun, seandainya ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri maka godaannya jauh lebih besar. Jadi jauhilah pandangan, sentuhan dan pertemuan yang dapat mempengaruhi jiwa.

Langkah pertama adalah menundukan pandangan yang dapat membuahkan pikiran buruk yang mengetuk hati. Bila seorang hamba mampu menolaknya, maka setelah itu ia akan tenang. Bila ia tidak menolaknya, maka pikiran tersebut menguat hingga menjadi godaan sehingga sulit untuk ditolak.

3. Renungkan

Renungkan dan bayangkan keputusasaan untuk mendapatkan dia. Baik karena usia yang masih terlalu muda, kemampuan yang minim maupun kemiskinan pengalaman. Selanjutnya berfikir bahwa tertambatnya hati pada sesuatu yang tidak ada harapan untuk diperoleh merupakan bentuk kegilaan, sama seperti pungguk merindukan bulan.

4. Ingat kejelekannya

Sebagaimana kebaikan menumbuhkan raasa cinta, demikian pula kejelekan pun dapat menumbuhkan raa benci. Renungkan secara mendalam, benarkah ia penuh dengan pesona? Pasti seseorang akan mendpatkan bahwa orang yang dicintainya ternyata mempunyai banyak kekurangan yang tak disenanginya. Tapi bukan berarti kita kemudian nyari-nyari kesalahan dia (tajassus), tapi cukup sadari kalo ia pasti memiliki banyak kekurangan, biar kita ga terlalu kagum sebelum waktunya (ngerti kan maksudnya?)
(bersambung insya Allah)

Keutamaan puasa Muharam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib (lima waktu) adalah shalat malam.“[1].


Hadits yang mulia ini menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan Muharram, bahkan puasa di bulan ini lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya, setelah bulan Ramadhan[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

- Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa ‘Aasyuura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk melakukannya[3], dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaannya beliau bersabda,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu“[4].

- Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengankan dengan puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disampaikan kepada beliau bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).” [5]

- Adapun hadits,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

“Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“[6], maka hadits ini lemah sanadnya dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya berpuasa pada tanggal 11 Muharram[7].

- Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya[8].

- Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal 10 Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa álaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ

“Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka“[9]. Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram[10].

- Hadits ini juga menunjukkan bahwa shalat malam adalah shalat yang paling besar keutamaannya setelah shalat wajib yang lima waktu[11].

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthoni, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
[1] HSR Muslim (no. 1163).
[2] Lihat keterangan Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/341).
[3] Dalam HSR al-Bukhari (no. 1900) dan Muslim (1130).
[4] HSR Muslim (no. 1162).
[5] HSR Muslim (no. 1134).
[6] HR Ahmad (1/241), al-Baihaqi (no. 8189) dll, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia sangat buruk hafalannya (lihat Taqriibut Tahdziib hal. 493). Oleh karena itu syaikh al-Albani menyatakan hadits ini lemah dalam Dha’iful Jaami’ (no. 3506).
[7] Lihat kitab Bahjatun Nazhirin (2/385).
[8] Lihat keterangan Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam as-Syarhul Mumti’ (3/101-102).
[9] Semua ini disebutkan dalam HSR al-Bukhari (3216) dan Muslim (1130).
[10] Lihat keterangan syaikh Muhammad al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/412).
[11] Lihat kitab Bahjatun Nazhirin (2/329).

Kamis, 17 Desember 2009

Pattern of Parenting in Mental Health




1. A mind that grows and adjust, is in control, and is free of serious stress.(Rosdahl, 1999)

2. Indicator of mental health include positive attitude toward self, growth, development, self actualization, integration, autonomy, reality perception & environmental mastery.(Stuart & Laraia, 1998)

3. The capacity of individuals within the groups & environment to interact with one an other in ways thet promote subjective well being, optimal development and use mental abilities (cognitive, affective, and relational) and achievement of individual and collective goals consistens with justice.(Australian Health Minister, 1996)

The conclusion is that mental health is something that resides within the individual and is abstract. In connection with the relationship with the environment and the efforts made to keep him from stress.

To maintain the mental health needs dijalankannya balanced mindset. Namely the existence of harmony and the harmony between thoughts, feelings and behavior caused. These three things have to walk in harmony, so as to express his thoughts with productive fruit. (Dharmady Dr. Agus, SpKJ).

Health should be started from the smallest aspects, ranging from the immediate environment. And in this case, the immediate environment is the family, where the family has been the presence of a strong bond. Included in mental health, how kleuarga formed in the process of supporting each other in an effort to reduce the existing stressor. However, many families in Indonesia who have not realized the importance of mental health in the family. As we know, physical health can be done by maintaining personal hygiene and by eating nutritious foods. But how his mental health in the family? (Purwanti, 2008)

Family system can be major sources of strength for persons with mental illness, and nurse should view them as allies and integral components of the treatment process. Families can provide an important economic and emotional buffer against the burden imposed by the patient’s illness and allow the patient a supportive environment for ecovery.

Involving the family, however, does not mean imposing family therapy models based on unwarranted presumptions of family pathology, which families claim do little to help them or the patient. Rather, psychoeducational, behavioral, supportive, and family consultation models are directly responsive to families requests for information, support, and techniques for managing their relatives’ illness(Sundeen, Stuart.1995)

Need for the parties who play an active role, and in this case the role of parents is a very important role, in addition to other family members. Parents as role models and the first educators in the home must be able give the things positive for their children. Because mental health related to how to set the mind to be able to have a good coping. Parents are also taught how a child should be in a state expression.

Parenting Style Defined

Parenting is a complex activity that includes many specific behaviors that work individually and together to influence child outcomes. Although specific parenting behaviors, such as spanking or reading aloud, may influence child development, looking at any specific behavior in isolation may be misleading. Many writers have noted that specific parenting practices are less important in predicting child well-being than is the broad pattern of parenting. Most researchers who attempt to describe this broad parental milieu rely on Diana Baumrind’s concept of parenting style. The construct of parenting style is used to capture normal variations in parents’ attempts to control and socialize their children (Baumrind, 1991). Two points are critical in understanding this definition. First, parenting style is meant to describe normal variations in parenting. In other words, the parenting style typology Baumrind developed should not be understood to include deviant parenting, such as might be observed in abusive or neglectful homes. Second, Baumrind assumes that normal parenting revolves around issues of control. Although parents may differ in how they try to control or socialize their children and the extent to which they do so, it is assumed that the primary role of all parents is to influence, teach, and control their children.


Parenting style captures two important elements of parenting: parental responsiveness and parental demandingness (Maccoby & Martin, 1983). Parental responsiveness (also referred to as parental warmth or supportiveness) refers to "the extent to which parents intentionally foster individuality, self-regulation, and self-assertion by being attuned, supportive, and acquiescent to children’s special needs and demands" (Baumrind, 1991, p. 62). Parental demandingness (also referred to as behavioral control) refers to "the claims parents make on children to become integrated into the family whole, by their maturity demands, supervision, disciplinary efforts and willingness to confront the child who disobeys" (Baumrind, 1991, pp. 61-62).

Four Parenting Styles

Categorizing parents according to whether they are high or low on parental demandingness and responsiveness creates a typology of four parenting styles: indulgent, authoritarian, authoritative, and uninvolved (Maccoby & Martin, 1983). Each of these parenting styles reflects different naturally occurring patterns of parental values, practices, and behaviors (Baumrind, 1991) and a distinct balance of responsiveness and demandingness.

  • Indulgent parents (also referred to as "permissive" or "nondirective") "are more responsive than they are demanding. They are nontraditional and lenient, do not require mature behavior, allow considerable self-regulation, and avoid confrontation" (Baumrind, 1991, p. 62). Indulgent parents may be further divided into two types: democratic parents, who, though lenient, are more conscientious, engaged, and committed to the child, and nondirective parents.
  • Authoritarian parents are highly demanding and directive, but not responsive. "They are obedience- and status-oriented, and expect their orders to be obeyed without explanation" (Baumrind, 1991, p. 62). These parents provide well-ordered and structured environments with clearly stated rules. Authoritarian parents can be divided into two types: non authoritarian-directive, who are directive, but not intrusive or autocratic in their use of power, and authoritarian-directive, who are highly intrusive. Authoritative parents are both demanding and responsive. "They monitor and impart clear standards for their children’s conduct. They are assertive, but not intrusive and restrictive. Their disciplinary methods are supportive, rather than punitive. They want their children to be assertive as well as socially responsible, and self-regulated as well as cooperative" (Baumrind, 1991, p. 62).
  • Authoritarian parents are oriented toward shaping, controlling, and restricting the adolescent to fixed standards. Obedience is seen as a virtue. Power and responsibility are not shared with the adolescent. Harsh discipline is used to curb autonomous strivings that are viewed as willfulness. The approach here is often punitive and it can result in problems with the adolescent’s development of autonomy.
  • Uninvolved parents are low in both responsiveness and demandingness. In extreme cases, this parenting style might encompass both rejecting–neglecting and neglectful parents, although most parents of this type fall within the normal range.

Because parenting style is a typology, rather than a linear combination of responsiveness and demandingness, each parenting style is more than and different from the sum of its parts (Baumrind, 1991). In addition to differing on responsiveness and demandingness, the parenting styles also differ in the extent to which they are characterized by a third dimension: psychological control. Psychological control "refers to control attempts that intrude into the psychological and emotional development of the child" (Barber, 1996, p. 3296) through use of parenting practices such as guilt induction, withdrawal of love, or shaming. One key difference between authoritarian and authoritative parenting is in the dimension of psychological control. Both authoritarian and authoritative parents place high demands on their children and expect their children to behave appropriately and obey parental rules. Authoritarian parents, however, also expect their children to accept their judgments, values, and goals without questioning. In contrast, authoritative parents are more open to give and take with their children and make greater use of explanations. Thus, although authoritative and authoritarian parents are equally high in behavioral control, authoritative parents tend to be low in psychological control, while authoritarian parents tend to be high.

Consequences for Children


Parenting style has been found to predict child well-being in the domains of social competence, academic performance, psychosocial development, and problem behavior. Research based on parent interviews, child reports, and parent observations consistently finds:

  • Children and adolescents whose parents are authoritative rate themselves and are rated by objective measures as more socially and instrumentally competent than those whose parents are nonauthoritative (Baumrind, 1991; Weiss & Schwarz, 1996; Miller et al., 1993).
  • Children and adolescents whose parents are uninvolved perform most poorly in all domains.


In reviewing the literature on parenting style, one is struck by the consistency with which authoritative upbringing is associated with both instrumental and social competence and lower levels of problem behavior in both boys and girls at all developmental stages. The benefits of authoritative parenting and the detrimental effects of uninvolved parenting are evident as early as the preschool years and continue throughout adolescence and into early adulthood. Although specific differences can be found in the competence evidenced by each group, the largest differences are found between children whose parents are unengaged and their peers with more involved parents. Differences between children from authoritative homes and their peers are equally consistent, but somewhat smaller (Weiss & Schwarz, 1996). Just as authoritative parents appear to be able to balance their conformity demands with their respect for their children’s individuality, so children from authoritative homes appear to be able to balance the claims of external conformity and achievement demands with their need for individuation and autonomy.

Conclusion

Parenting style provides a robust indicator of parenting functioning that predicts child well-being across a wide spectrum of environments and across diverse communities of children. Both parental responsiveness and parental demandingness are important components of good parenting. Authoritative parenting, which balances clear, high parental demands with emotional responsiveness and recognition of child autonomy, is one of the most consistent family predictors of competence from early childhood through adolescence. However, despite the long and robust tradition of research into parenting style, a number of issues remain outstanding. Foremost among these are issues of definition, developmental change in the manifestation and correlates of parenting styles, and the processes underlying the benefits of authoritative parenting (see Schwarz et al., 1985; Darling & Steinberg, 1993; Baumrind, 1991; and Barber, 1996).

Reference :

· Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama

· _________Parenting Style and Its Correlates.

· http://www.athealth.com/Practitioner/ceduc/parentingstyles.html(parrenting)

[16 Desember 2009]

· Dwairy.M and Team. Parenting Styles, Individuation, and Mental Health of Arab Adolescents.A Third Cross-Regional Research

study.http://jcc.sagepub.com/cgi/content/abstract/37/3/262 [16 Desember 2009]

· Purwanti.Pentingnya Kesehatan Mental Dalam Keluarga.

http://pendidikankita.com/?content=article_detail&idb=38 [16 Desember 2009]